Minggu, 18 Desember 2011

isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/18308217226.pdf

JURNAL TENTENG SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH BESERTA RESUMANNYA

isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/18308217226.pdf


RESUMAN DARI JURNAL APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK STUDI KESESUAIAN BUDIDAYA IKAN KERPU DALAM KERAMBA JARING APUNGDI PERAIRAN PULAU KAMBUNO , KEPULAUAN SEMBILAN KABUPATEN SINJAI

            Jurnal diatas membahas mengenai Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk studi kesesuaian budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung diperairan pulau kambuno Kepulauan Sembilan Kabupaten Sinjai, jurnal tersebut berisi mengenai penelitian tempat untuk budidaya karamba jaring apung melalui aplikasi Sistem Informasi Geografis dan penginderaan jauh, dijelaskan bahwa dalam usaha budidaya ikan perlu diperhatikan berbagai aspek, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kelautan dan perikanan. Bentuk penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kelautan dan perikanan yaitu dengan mengetahui daerah yang potensi sebagai lokasi budidaya ikan sehingga nelayan dapat lebih mengefisienkan penggunaan waktu, biaya dan lebih dari itu dapat memperoleh hasil yang maksimal. Salah satu cara budidaya yang dapat dilakukan adalah budidaya ikan melalui jaring apung atau keramba jarring apung.
            Jurnal diatas berisikan mengenai berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menentukan daerah yang cocok yang dapat digunakan sebagai tempat budidaya dengan cara keramba jaring apung melalui aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh, yaitu melalui pengukuran kualitas air dan analisis data dengan Sistem informasi Geografis. Disekitar perairan pulau kambuno kecamatan kepulauan Sembilan, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Kelebihan jurnal diatas yaitu dalam penelitiannya menyertakan pengukuran kualitas air, dimana kualitas air adalah hal yang utama didalam sebuah proses budidaya, karena kualitas air berhubungan langsung dengan kultivan yang akan dibudidayakan serta penerapan analisis Sistem Informasi Geografis yang digabungkan dengan Penginderaan Jauh. Pengukuran kualitas air meliputi pengukuran gelombang, kedalaman, arus, kecerahan, salinitas, suhu, oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH), sedangkan untuk analisis Sistem Informasi Geografis langkah awal yang dilakukan adalah melakukan digitasi terhadap hasil scanning, melakukan interpolasi terhadap parameter kimia dan fisika , melakukan topologi, melakukan pemodelan, melakukan scoring dan yang terakhir melakukan penyatuan terhadap hasil analisis yang sudah didapat. Jurnal tersebut masih mempunyai kekurangan atau kelemahan karena dalam pembuatan peta wilayah, tidak dicantumkan letak koordinatnya, hanya gambar peta lokasi yang diambil dari foto satelit. Seharusnya dicantumkan letak koordinat agar hasil yang didapat lebih valid dan pasti. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada perairan pulau Kambuno dapat dijadikan lokasi budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung dengan tingkat kesesuaian yang bebeda-beda. Dengan adanya Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut. Keseluruhan proses \mulai dari pengambilan data, analisis data hingga penggunaan data tersebut.
             

Selasa, 13 Desember 2011

Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh
Sabins (1996) dalam Kerle, et al. (2004) menjelaskan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang telah direkam yang berasal dari interaksi antara gelombang elektromagnetik dengan sutau objek. Sedangkan menurut Lillesand and Kiefer (1993), Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji.
Data penginderaan jauh diperoleh dari suatu satelit, pesawat udara balon udara atau wahana lainnya. Data-data tersebut berasal rekaman sensor yang memiliki karakteristik berbeda-beda pada masing-masing tingkat ketinggian yang akhirnya menentukan perbedaan dari data penginderaan jauh yang di hasilkan (Richards and Jia, 2006).
Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik (Purwadhi, 2001).
Skema Umum Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh sangat tergantung dari energi gelombang elektromagnetik. Gelomabng elektromagnetik dapat berasal dari banyak hal, akan tetapi gelombang elektromagnetik yang terpenting pada penginderaan jauh adalah sinar matahari. Banyak sensor menggunakan energi pantulan sinar matahari sebagai sumber gelombang elektromagnetik, akan tetapi ada beberapa sensor penginderaan jauh yang menggunakan energi yang dipancarkan oleh bumi dan yang dipancarkan oleh sensor itu sendiri. Sensor yang memanfaatkan energi dari pantulan cahaya matahari atau energi bumi dinamakan sensor pasif, sedangkan yang memanfaatkan energi dari sensor itu sendiri dinamakan sensor aktif (Kerle, et al., 2004)
Ukuran energi yang dipantulkan dan dipancarkan oleh sensor penginderaan jauh (Karle, el al., 2004)
Analisa data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapangan. Hasil nalisa yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumberdaya lokasi. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut. Keseluruhan proses pmulai dari pengambilan data, analisis data hingga penggunaan data tersebut disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001)

Penginderaan Jauh dalam SIG


Interpretasi Citra Penginderaan Jauh
           Ada beberapa objek yang dapat dikenali secara langsung tetapi ada sebagain objek yg malah tidak dikenali. Proses pengenalan objek ini sangat tergantung dari pengalaman dan persepsi dari orang yg melihat foto tersebut. Bagi yg dah biasa, mungkin dapat secara mudah mengidentikasi objek, tetapi bagi yg ga berpengalaman proses pengenalan objek akan sangat2 susah. Apabila dah bisa mengenali objek tersebut dan dah bisa menyampaikan informasinya kepada orang lain maka kita sedang melakukan proses interpretasi. Pekerjaan interpretasi bukan hanya dilakukan oleh para fotografer tapi juga oleh orang2 yang berada didisiplin ilmu penginderaan jauh, bahkan bagi orang2 yg bergantung pada hasil penginderaan jauh, interpretasi merupakan langkah awal yang sangat menentukkan bagi hasil pekerjaannya nanti.
            Estes dan Simonett (1975) dalam Sutanto (1992) mengatakan bahwa interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Pengalaman sangat menentukkan hasil interpretasi, karena persepsi pengenalan objek bagi orang2 yang berpengalaman biasanya lebih konstan atau dengan kata lain pengenalan objek yang sama pada berbagai bentuk citra akan selalu sama. Misalkan pada citra A dianggap sebuah pemukiman, maka pada citra B atau C pun tetap bisa dikenal sebagai pemukiman walaupun agak sedikit berbeda dalam penampakannya.
            Ada tiga hal penting yang perlu dilakukan dalam proses interpretasi, yaitu deteksi, identifikasi dan analisis. Deteksi citra merupakan pengamatan tentang adanya suatu objek, misalkan pendeteksian objek disebuah daerah dekat perairan. Identifikasi atau pengenalan merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunkan keterangan yang cukup, misalnya mengidentifikasikan suatu objek berkotak2 sebagai tambak di sekitar perairan karena objek tersebut dekat dengan laut. Sedangkan analisis merupakan pengklasifikasian berdasarkan proses induksi dan deduksi, seperti penambahan informasi bahwa tambak tersebut adalah tambak udang dan dklasifikasikan sebagai daerah pertambakan udang.
            Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi, 2001). Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara digital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap pixel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu.
Sumber:
Purwadhi, Sri Hardiyanti. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta
Lillesand, Thomas M., Ralph W Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press. Jogyakarta
Sutanto. 1992. Penginderaan Jauh; Jilid 1. Gajah Mada University Press. Jogyakarta
CPLO. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. UI Press. Jakarta

GIS Untuk Penginderaan Jauh dan Indeks Vegetas

GIS untuk Penginderaan Jauh dan Indeks Vegetas
Penginderaan jauh mempunyai kemampuan untuk menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari permukaan bumi dalam jumlah yang banyak dan waktu yang cepat. Keadaan ini membutuhkan suatu sistem pengelolaan dan penanganan data yang tepat dan efisien sehingga informasi spasial dari citra penginderaan jauh yang diperoleh dapat berguna untuk kepentingan yang luas.
Penginderaan jauh tidak pernah lepas dari Sistem Informasi Geografi (SIG). Data-data spasial hasil penginderaan jauh merupakan salah satu data dasar yang dipergunakan dalam analisis SIG. Dalam perkembangannya data-data SIG juga berguna dalam pengolahan data penginderaan jauh (Barus dan Wiradisastra, 2000). SIG sangat baik dalam proses manajemen data, baik itu data atribut maupun data spasialnya. Integrasi antara data spasial dan data atribut dalam suatu sistem terkomputerisasi yang bereferensi geografi merupakan keunggulan dari SIG.
Data penginderaan jauh merupakan data hasil pantulan objek dari berbagai panjang gelombang yang di tangkap oleh sebuah sensor dan mengubahnya menjadi data numerik serta bisa dilihat dalam bentuk grafik atau citra (imaginery) (Purwadhi, 2001). Sedangkan pemanfaatan data-data penginderaan jauh dilakukan karena tersedia dalam jumlah yang banyak, mampu memperlihatkan dearah yang sangat luas, tersedia untuk daerah yang sulit terjangkau, tersedia untuk waktu yang cepat, dan dapat memperlihatkan objek yang tidak tampak dalam wujud yang bisa dikenali objeknya (Sutanto, 1989). Salah satu contoh aplikasi data penginderaan jauh adalah untuk melihat indeks vegetasi dan mengestimasi jumlah penyerapan Carbon Dioksida (CO2) oleh tanaman. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan metode yang sering digunakan untuk memanfaatkan data spektral indeks vegetasi (Spectral Vegetation Index (SVI)) dari penginderaan jauh. Spektral indeks vegetasi dari data penginderaan jauh terbentuk karena adanya perbedaan pantulan gelombang dari daun tanaman hidup dengan objek-objek yang lain dipermukaan bumi pada panjang gelombang hijau (visible) dan infra merah dekat (invisible) (Horning, 2004)
Kemampuan suatu citra (imaginery) menangkap dan menampilkan suatu informasi dari permukaan bumi sangat tergantung dari resolusi spasial, resolusi temporal, resolusi radiometrik dan resolusi spektralnya (Purwadhi, 2001). Setiap jenis citra mempunyai jenis resolusi yang berbeda-beda baik itu resolusi spasial, resolusi temporal, resolusi radiometrik maupun resolusi spektralnya sehingga mengakibatkan kemampuan suatu citra dalam menangkap dan menampilkan informasi juga berbeda-beda. Keadan ini juga terjadi pada kemampuan citra dalam menangkap dan menampilkan informasi indeks vegetasi.
 Pengolahan data penginderaan jauh dengan memanfaatkan SIG diharapkan mampu memberikan informasi secara cepat dan tepat sehingga dapat digunakan sesegera mungkin untuk keperluan analisis dan manipulasi data.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI PERIKANAN (SIG)

T.Nugrahani
Staf Data dan TI
Dinas Perikanan dan Kelautan Prov DIY

Dunia Kelautan dan Perikanan merupakan dunia yang dinamis, disini hampir semuanya bergerak kecuali dasar lautan. Di Wilayah yang merupakan bagian di permukaan bumi yang paling luas, terdapat banyak sumber daya alam yang bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi untuk suatu daerah atau pemerintahan, Contohnya adalah sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang sangat besar pula. Indonesia dengan luas lautan sekitar 5,8 juta km² dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, maka potensi pendapatan ekonomi dari bidang perikanan cukup besar sekali. Begitu pula Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luas wilayah 318.580 Hektar dengan garis pantai 113 Km. Menjadikan  Provinsi  DIY  merupakan  daerah  potensi   sumberdaya perikanan, berdasarkan hasil produksi nelayan DIY di Selatan laut jawa dengan hasil 332.600 ton per tahun dan baru termanfaatkan sekitar 17 %.dan di Samodera Hindia dengan hasil 905.300 ton per tahun dan baru termanfaatkan sekitar 2,7 %. Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam eksploitasi sumberdaya ikan-ikan tersebut menyebabkan tidak optimumnya pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada. Pemanfaatan suatu teknologi seperti Sistem Informasi Geografis untuk Kelautan dan Perikanan diharapkan dapat mampu memberikan suatu gambaran dan suatu tampilan spasial tentang sumber-sumber atau spot-spot perikanan di wilayah Prov DIY khususnya dan di wilayah Indonesia pada umumnya yaitu dengan menggabungkan faktor-faktor lingkungan yang mendukung tempat hidup dan berkumpulnya berbagai jenis ikan tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil penangkapan ikan.
      Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah system yang berbasis komputer yang digunakan untuk memetakan kondisi dan peristiwa yang terjadi di muka bumi dan dapat juga dipakai untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisis informasi geografi. Teknologi ini berkembang pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informatika atau teknologi komputer. Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta. Peta-peta umum (general purpose) menggambarkan suatu topografi suatu daerah ataupun batas-batas (administrative) suatu wilayah atau Negara. Sedangkan peta tematik (thematic) secara khusus menampilkan distribusi keruangan (sepatial distribution) kenampakan-kenampakan seperti geologi, geomorfologi,tanah,vegetasi..
      Teknologi SIG ini dapat mengintegrasikan system operasi database seperti query dan analysis statistik dengan berbagai keuntungan analisis geografis yang ditawarkan dalam bentuk peta. Dengan kemampuan pada system informasi pemetaan (informasi spasial) yang membedakannya dengan system informasi lain seperti database, maka SIG banyak digunakan oleh masyarakat, pengusaha dan instansi untuk menjelaskan berbagai peristiwa, memprediksi hasil dan perencanaan strategis (Environmental systems Research Institute, ESRI).SIG memiliki kapabilitas menghubungkan berbagai lapisan data di suatu titik yang sama pada tempat tertentu, mengkombinasikan, menganilysis data tersebut dan memetakan hasilnya. Teknologi ini juga dapat mendeskripsikan karakteristik objek pada peta dan menentukan posisi koordinatnya,
      Apa yang tersaji pada sebuah peta, tidak lain adalah data atau informasi tentang permukaan bumi. Namun demikian, suatu peta juga dapat menggambarkan distribusi sosial ekonomi suatu masyarakat, Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peta memuat atau mengandung data yang mengacu bumi. Yang diacu tidak lain adalah posisinya yaitu system koordinat bumi, baik yang menggunakan system bujur/lintang atau system UTM (Universal Tranver Mercator). Teknologi computer yang mampu menangani basis data dan menampilkan suatu gambar (grafik), merupakan salah satu alternative yang dipilih untuk menyajikan suatu peta. Sistem Informasi Geografi (SIG) tidak hanya dipandang sebagai pemindahan peta konvensional kebentuk peta digital, sebab dengan kemampuannya memanipulasi data, computer dengan SIG dapat menghasilkan suatu informasi berharga yang lain yang diperoleh dari hasil analisis yang diprogramkan.
      Mengapa menggunakan SIG, karena SIG merupakan suatu interaksi antara data-data atribut dan data spasial yang bereferensi geografi. Keunggulan SIG ini dapat dijadikan masukan berharga bagi para nelayan atau pengusaha perikanan untuk mengetahui lokasi-lokasi penangkapan ikan. Pertanyaan yang sering dilontarkan para nelayan adalah diamana lokasi penangkapan ikan yang baik, atau lokasi mana yang paling banyak ikannya, dan kapan bias ditangkap dalam jumlah yang berlimpah dan lain sebagainya ? Dengan mengetahui area dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar tentu saja akan menghemat biaya operasi penangkapan.
      Salah satu alternative yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh (indraja) kelautan. Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain dengan data suhu permukaan laut atau  Sea Surface Temperatuire (SST),  tingkat konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat produktifitas primer. Analisis dengan SIG akan memberikan tampilan secara geografis kecenderungan sebaran dari faktor-faktor lingkungan yang disukai ikan yang akhirnya memberikan gambaran daerah perkiraan penangkapan ikan. Ikan dengan mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul.  
      Pada dasarnya setiap ikan mempunyai kriteria-kriteria lingkungan tersendiri untuk kenyamanan hidupnya. Ikan Tuna tergolong jenis scombrid yang sangat aktif dan umumnya menyebar di perairan yang oseanik sampai ke perairan dekat pantai, territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Keberadaan tuna di suatu perairan sangat bergantung pada beberapa hal yang terkait dengan spesies tuna, kondisi hidrooseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE Indonesia, migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dan jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara samodera Hindia dan samodera Pasifik. Kelompok ikan tuna merupakan jenis kelompok ikan palagis besar, yang secara komersial di bagi atas kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari jenis ikan tuna mata besar (bigeye – thunnus obesus), medidihang (yellowfin – Thunnus albacares), tuna albakora (albacore – thunnus alalunga), tuna sirip biru selatan (southem blue-fin – thunnus maccoyii). Dan tuna abu-abu (longtail tuna – thunnus tonggol), sedangkan yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (skipjack – katsuwonus pelamis).(Sumber : Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna, DKP RI). Kriteria-kriteria lingkungan tersebut adalah seperti   adanya peristiwa upwelling, dinamika pusaran (eddy) dan daerah front gradient pertemuan dua masa air yang berbeda,  baik itu Salinitas, suhu, atau klorofil-a, Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan factor lingkungan disekelilingnya. Dari hasil  analisa ini akan diperoleh indicator oseanografi yang cocok untuk ikan tertentu. Contohnya ikan albacore tuna di laut utara pasifik cenderung terkonsentrasi  pada kisaran suhu 18,5 – 21,5 ºC, dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a 0,3 mg/m³ (polovia et al., 2001; Zainudin et al., 2004 dalam Zainudin, 2006), sedangkan ikan cakalang dan tuna kecil (little/baby Tuna) lebih nyaman hidup pada daerah dengan kisaran suhu 23 – 28 ºC (Leavestu dan Hela, 1970 dalam Kusuma, 2004).
      Keadaan-keadaan lingkungan yang merupakan syarat kenyamanan hidup bagi ikan-ikan tersebut merupakan suatu sebaran spasial yang dapat di olah dengan SIG. Data-data lingkungan tersebut dapat diperoleh dari data penginderaan jauh seperti SST/suhu laut dan klorofil-a yang bisa diperoleh dari citra MODIS yang bisa di download pada situs
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/browse.pl. sedangkan data-data lokasi pendaratan kapal penangkapan, batas pantai, pasang surut bisa diperoleh dari survey lapangan dan peta dasar wilayah.
      Selanjutnya output yang didapatkan dari indicator oseanografi yang bersesuaian dengan distribusi dan kelimpahan ikan dipetakan dengan teknologi SIG. Data indicator oseanografi yang cocok untuk ikan perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat mungkin merespon bukan hanya pada suatu parameter lingkungan saja, tetapi berbagai parameter yang saling berkaitan, dengan kombinasi SIG, inderaja dan data lapangan akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini akan memberikan gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bias mendapatkan banyak ikan.
      Di bawah ini disajikan salah satu contoh aplikasi penggunaan SIG dan inderaja pada penangkapan ikan tuna di laut utara Pasific (Gambar 1). Disini terlihat bahwa dua database (satelit dan perikanan tuna) dikombinasikan dalam mengembangkan spasial analysis daerah penagkapan ikan tuna. Pada prinsipnya ada 4 layer/lapisan data yang diinegrasikan yaitu suhu permukaan laut (SST) (NOAA/AVHRR), tingkat konsentrasi klorofil (SeaWiFS), perbedaan tinggi permukaan air laut (SSHA) dan eddy kinetic (EKE) (AVISO). Parameter pertama (SST) dipakai karena berhubungan dengan kesesuaian kondisi fisiologi ikan dan thermoregulasi untuk ikan tuna, sedangkan parameter yang kedua karena dapat menjelaskan tingkat produktifitas perairan yang berhubungan dengan kelimpahan makanan ikan, sementara parameter yang ketiga berhubungan dengan kondisi sirkulasi air daerah yang subur seperti eddy dan upwelling; dan parameter terakhir berhubungan dengan indeks untuk melihat daerah subur dan kekuatan arus yang mungkin mempengaruhi distribusi ikan. Data penangkapan ikan tuna (lingkaran putih pada peta yang ditunjukkan dengan tanda panah) diplot pada peta lingkungan yang dibangkitkan dari citra satelit. Sedangkan panel atau layer yang paling atas menunjukkan peta prediksi hasil tangkapan.
      Gambar 1 memberikan informasi bahwa ikan tuna tertangkap dalam jumlah yang besar (terkonsentrasi) pada posisi sekitar 35 º LU dan 160º BT bersesuaian dengan kondisi SST sekitar 20 ºC dan berasosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0.3 mg m³. Konsentrasi ikan tersebut berbeda pada posisi positif anomaly permukaan laut (warna merah) yang bertepatan dengan kondisi EKE yang relative lebih tinggi. Dari gambar itu terlihat bahwa prediksi hasil tangkapan dengan peluang yang tinggi (dikenal dengan istilah habitat hotspot) juga mengkonfirmasi daerah produktif tersebut. Setiap spesies ikan mempunyai kakarteristik oseanografi kesukaannya sendiri dan cenderung menempati daerah tertentu yang bisa dipelajari. Hal ini dapat diketahui dengan pendekatan SIG dan inderaja multi layer tersebut. 
              



Sistem Informasi Geografi Perikanan; Sebuah Wacana
14 Maret 2008 — La An
http://mbojo.files.wordpress.com/2008/04/animation.gif?w=780Dunia kelautan merupakan dunia yang sangat dinamis, disini hampir semunya bergerak kecuali dasar lautan. Di wilayah yang merupakan bagian bumi terbesar ini, terdapat banyak sumber daya alam yang bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi untuk suatu daerah atau pemerintahan, contohnya adalah sumber daya ikan. Indonesia merupakan suatu negara yang sangat luas dan memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar juga. Dengan luas lautan sekitar 5,8 juta km2 dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, maka potensi pendapatan ekonomi dari bidang perikanan akan sangat besar sekali. Menurut Kusyanto (2001) potensi sumber daya perikanan di Indonesia adalah 6.1 juta ton per tahun dan baru termanfaatkan sekitar 57%. Kurangnya pemanfaatan teknologi dalam eksploitasi sumber daya ikan2 tersebut menyebabkan tidak optimumnya pemanfaatan sumber daya ikan yang ada. Pemanfaatan suatu teknologi seperti Sistem Informasi Geografis untuk perikanan di harapkan dapat mampu memberikan suatu gambaran dan suatu tampilan spasial tentang sumber-sumber atau spot-spot perikanan di wilayah indonesia yaitu dengan menggabungkan faktor-faktor lingkungan yang mendukung tempat hidup dan berkumpulnya berbagai jenis ikan tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil penangkapan ikan.
            Setiap jenis ikan mempunyai suatu kriteria-kriteria lingkungan tersendiri untuk kenyaman hidupnya *ya mirip kayak manusia juga sih, namanya juga mahluk hidup *. Kriteria-kriteria lingkungan tersebut adalah seperti suhu, makanan (chlorophyl-a), salinitas, pertemuan masa air (eddy), upwelling, dll. Contohnya untuk ikan albacore tuna di laut utara pasifik, ikan ini suka hidup pada kisaran suhu 18.5 – 21.5 oC, dan tingkat klorofil-a 0.3 mg/m3 (Polovia et al., 2001; Zainuddin et al., 2004 dalam Zainuddin, 2006), sedangkan ikan cakalang dan tuna kecil (litle tuna) lebih bahagia hidup pada daerah dengan kisaran suhu 23 – 28 oC (Leavestu dan Hela, 1970 dalam Kusuma, 2004).
            Keadaan2 lingkungan yang merupakan syarat kebahagian hidup bagi ikan2 tersebut merupakan suatu sebaran spasial yang dapat di olah dengan Sistem Informasi Geografi. Data-data lingkungan tersebut dapat di peroleh dari data penginderaan jauh seperti Sea Surface Temperature (SST)/suhu laut dan klorofil-a yang bisa diperoleh dari citra MODIS yang bias di download pada situ http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/browse.pl. sedangkan data-data lokasi pendaratan kapal penagkapan, batas pantai bisa diperoleh dari survei lapangan dan peta dasar wilayah.
Sistem informasi geografi merupakan suatu interaksi antara data-data atribut dan data spasial yang bereferensi geografi. Keunggulan SIG ini dapat dijadikan masukan berharga bagi para nelayan atau pengusaha perikanan untuk mengetahuai lokasi-lokasi penangkapan ikan. Pertanyaan yang sering di lontarkan nelayan adalah dimana lokasi penangkapan ikan yang baik? dan kapan waktunya? Dengan SIG perikanan pertanyaan2 ini bisa di jawab, dengan bantuan data SST, klorofil, PAR (Photosintesis Actibe Radiation) dll bulanan dalam beberapa tahun yang diperoleh dari PJ dan dianalisis dengan SIG akan memberikan tampilan secara geografis kencendrungan seberan dari faktor2 lingkungan yang disukai oleh ikan yang akhirnya memberikan gambaran daerah perkiraan penangkapan ikan.
SIG perikanan lebih sering bermain dengan bentuk data raster. Data2 SST, klorofil dll tersebut merupakan suatu data dari citra satelit yang berbentuk raster. Data raster mempunyai kelemahan dalam proses penyimpaan dan kemampuannya berinteraksi dengan data atribut. Data bentuk raster membutuhkan tempat penyimpanan yang sangat besar sehingga boros hardisk, data raster juga merupakan data angka per pixel sehingga tidak bisa di gabung dengan data tabel, keadaan ini terjadi apabila data raster tersebut bersifat degradasi. Untuk bisa menggabungkannya dengan data tabel harus di reklasifikasi terlebih dahulu, sehingga membentuk ID2. Interkasi data atribut dengan data spasial sangat berguna pada lokasi pendaratan ikan, dimana pelaporan secara berkala tentang hasil penagkapan ikan akan memberikan informasi wilayah penghasil ikan terbesar dan informasi tentang pemanfaatan potensi perikanan yang ada disekitar lokasi pendaratan kapal.
Pengembangan SIG untuk kelautan mempunyai dua kendala umum, pertama bahwa dasar-dasar perkembangan SIG adalah untuk keperluan analisis keruangan pada suatu lahan (land-based sciences), kedua analisis SIG untuk laut lebih banyak menggunakan 3D, sedangkan SIG sendiri masih kurang mampu mengaplikasikan 3D secara baik pada daerah2 yg luas (Davis dan Davis 1988; Wright dan Goodchild 1997 dalam Kusuma, 2004).